Friday, October 26, 2012

A little story from Berlin

(curhat again) Gue ngerasa hari-hari gue semakin baik aja.. mungkin karena banyak topan, halilintar, badai, tornado atau sejenisnya yang nimpa gue akhir-akhir ini. Benar kata orang-orang dulu, proses pendewasaan itu menyakitkan, apalagi tidak dibarengi dengan mentalitas yang luar biasa. Bisa gila dibuatnya.
Gue ngga mau lagi hidup gue suram seperti dahulu, gue musti happy, gue kudu bahagia..... Begitu juga dengan elu... thanks buat seseorang yang buat gue bangkit kaya gini. walau modusnya dendam kesumat sampai keujung dunia gue berterima kasih kepadanya yang telah buat gue overbahagia menjalani hidup gue yang akhirnya bisa melek.. ! Oke, sudah ah... Forget it.
Masa lalu itu ngga banget deh jika dikenang-kenang terus tau ngga... lo harus bangkit, lo harus bangun dari tidur lo.. lo memang sudah terlalu banyak didalam zona kenyamanan.
bicara tentang cinta memang sulit, memang manusia bukanlah sesuatu yang lurus-lurus aja. manusia itu sangat susah untuk dipelajari. Sebenarnya ilmu Biologi hanya membahas tentang hal-hal yang diluar saja. Bicara tentang hati, perasaan dan pikiran... itu merupakan mata kuliah yang ngga bisa lo pelajari selama 4 tahun. ngga.... pakar psikologi saja ngga bisa memahami pasiennya secara 100%. jangankan pakar psikologi. diri elu saja ngga bisa ngertiin diri lo sendiri kan ?.
(kenapa gue jadi marah-marah gini). well... (tarik nafas dulu)
sebenarnya gue hanya mau posting sesuatu doang sih. tapi kenapa jadi marah-marah gini sih guenya. haha. (Gaje)
oke.. cokidot..
(mood rusak ama kata-kata pengantar yang kaga jelas maknanya apa dan sangat tidak nyambung dengan artikel sebenarnya)

Is it an angel ?

Hari itu bogor diguyur hujan deras, sayangnya aku bukan peramal yang baik yang bisa memprediksi cuaca bogor saat itu. Aku tidak membawa payung begitu juga dengan sahabatku, fitri. Kami berdua hujan-hujanan melintasi jalanan yang tidak begitu macet. Fitri yang tinggal di asrama amarilis akhirnya mengambil langkah yang berbeda denganku.
Hujan tidak juga menahan amarahnya walau aku sudah sendirian menunggu sang matahari, berteduh di bawah naungan atap kafe di sekitar berlin. Aku memandang handphone ku yang sudah basah, memandangnya dengan keji. Sebuah reminder mengingatkanku tentang korek api, jangka dan serbet yang harus aku beli sebelum hari benar-benar berakhir. Akhirnya perdebatanku dengan dingin dan hujan berakhir, aku mengambil langkah berani untuk menerobos hujan demi praktikum kimia perdana yang aku tunggu-tunggu selama ini.
Tidak ada toko yang benar-benar buka sepanjang jalan, sudah buka pun tidak ada yang jual hal-hal yang aku butuhkan. Kenapa kesialan selalu saja menemani hari-hariku sepanjang waktu, teman setiaku. Mobil-mobil yang tidak tahu sopan santun seenaknya menyipratkan air kotor ke badanku, rasanya ingin aku jungkir baikkan yang punya tu mobil. ah sudah ah, biarkan saja. amal masing-masing..
Handphoneku berbunyi seenaknya, kulihat sebuah nama yang tidak asing muncul di layar yang sudah kusam. Aku menjawabnya dengan enggan, dia adalah seorang... yah, memang seseorang wanita yang.. yah.. sudah lah. Dia menitipkan keperluan yang harus aku beli, aku hanya mengiyakan dengan pasrah.
Setelah berlarian menuju kesana-kemari, aku akhirnya menemukan serbet dan lain sebagainya. Namun keperluan temanku belum juga berhasil aku temukan. Aku sudah keliling kemana-mana. Kepalaku semakin berdenyut-denyut, aku memang sering kehujanan di kota Bogor ini tetapi tidak pernah selama ini. Halilintar semakin membuatku jantungan, petir di Bogor memang paling dahsyat !.
Seseorang berteriak dan mendorongku dengan keras. Aku tersentak kaget, ternyata aku hampir saja ditabrak oleh mobil yang sudah berlalu-lalang. Ya ampun, rasanya sungguh...
"Kamu tidak apa-apa ?". Aku hanya mengangguk pelan, kepalaku sangat tidak bisa ditolong. Ia membantuku berdiri dan memapahku berjalan menuju berlin, memayungiku dan memberiku jaket nya. "Mbag darimana memangnya ? Kenapa begini ?".
Dengan tolol dan mengigau aku menjawabnya "Beli jangka". Aku baru sadar jawabanku sangat tidak rasional ketika dia menahan tawanya. Aku semakin tidak berani memandang wajahnya walaupun aku ingin tahu siapa dia.
"Terima kasih banyak". Ujarku yang masih menunduk malu. Dia mengucapkan kata-kata yang menyuruhku berhati-hati dan berobat di poliklinik, aku hanya mengangguk pelan. Ketika ku menurunkan payungnya dan ingin membuka jaket yang ia sematkan. Ia berlari dan menghilang... Yang kulihat hanya punggungnya.. Sosok tinggi yang memakai kaos hitam.
Aku ngga tahu dia siapa, ngga tahu namanya siapa, fakultas apa, departemen apa maupun angkatan berapa.. Aku hanya bengong memandang jaket dan payungnya yang ada di tanganku....

Ending

with love, Dian Anggraeni



0 comments: