Friday, November 30, 2012

Sedikit cerita dari sudut kota bogor

Hari itu aku seakan-akan melihatmu, berteduh di bawah pohon.. tidur dengan menutupi sebagian wajahmu. menikmati angin yang begitu menyejukkan, Begitu damai melihatmu terbaring nyaman diatas rerumputan hijau, kamu tidak mempedulikan rumput itu membasahi bajumu ataupun mengotorinya. Membuatku merasakan seakan-akan hidup di zona waktu dan dimensi yang berbeda, hanya bersamamu.. Tidak.. ini begitu tidak mungkin terjadi. Matahari menyengatku terlalu dalam. Lalu aku tersadar.. kesadaran itu menarik-narikku menuju kenyataan, dia bukan kamu. Aku hanya hidup di persimpangan mimpi yang tidak pernah sampai pada rumahku. Kasihan anak itu, dia menjadi korban objek mataku selama berjam-jam. Maaf....
Aku masih saja berkeinginan tuk membuka dan menyusuri album itu, album yang selalu aku bawa kemana-mana. Sekali lagi aku membukanya, setengah berharap halaman pertama akan menampilkan bidang kosong, namun aku tahu itu konyol dan kekanak-kanakan, karena sosok itu akan tetap ada, berada di lembar foto manapun. Tampak sama dengan aslinya, menatapku dengan tatapan hangat yang kurindukan. Sungguh luar biasa seseorang bisa terlihat begitu... tak terlukiskan.. Seribu katapun takkan mampu menggambarkanmu.
Anak itu masih tidak beranjak dari tidurnya, seakan-akan dia mengerti dan tidak ingin mengganggu lamunanku. Aku masih merasa konyol berharap itu dia. Tapi akal sehatku mengetahui kamu tidak mungkin begitu tiba-tiba berada disekitarku tanpa kusadari keberadaanmu. Aku memandangi langit yang tidak pernah cerah di sore hari, sadar bahwa aku berada sangat jauh darimu.. Baik itu dalam dunia nyata maupun mimpi. Dengan konyolnya aku terus memandang nya, sekali lagi berharap dia memang benar-benar kamu. Rintik-rintik air kehidupan memanggilku agar tetap berada di bumi. 
Sesuatu menarik-narik ingatanku, namun aku tak kunjung bisa meraihnya. Sesuatu entah apa yang selalu membuatku menitikkan air mata, tapi anehnya aku menyukainya. Aku menyukai mendapati diriku yang sedang meringkuk dan memeluk kedua lututku menangisi entah apa, aku suka mendapati diriku tenggelam dalam hal yang entah mengapa membuatku begitu menyesakkan. Waktu seakan-akan berhenti bagiku. Aku sudah kehilangan jiwaku ketika kamu memutuskan untuk mengambil hatiku. Waktu juga tidak lagi berarti bagiku sekarang, aku hanya berjalan pelan bahkan sangat pelan. Hidupku tampak sangat muram, aku tak peduli lagi seberapapun aku terjatuh dalam langkahku berapa pun jauhnya aku melangkah. Bagiku semua itu hanyalah kegelapan. Harapan akan keadaan menjadi lebih baik sepertinya tidak pernah menyentuhku. Tapi aku menyukainya, aku menyukai tingkah bodohku yang terus begini. Jangan tanyakan kenapa, tanyakan mengapa kamu membuatku begitu.. mencintaimu. Tidak, perasaan ini tidak bisa dikatakan sebuah rasa cinta. tidak. seharusnya rasa cinta rapuh. arght. Betapa bodohnya aku dengan perasaanku ini yang tanpa syarat, selamanya. 
Bagaimana ini Tuhan, dia pergi tanpa mengajariku cara tuk melupakannya.